Klik NTB - Berita Indonesia Hari Ini | Untuk Pemasangan Iklan Hubungi 081915618200

Mengangkat Kembali “Pamor” Tenun Jawa Barat, Mungkinkah?

‘Save Keris’ Trending, Fadli Zon Tengarai Ada Narasi Adu Domba
Agustus 21, 2020

Klik NTB – Indonesia mengenal beragam kain tenun. Sebutlah, songket, pandai sikek, ulos, lurik, sasak, dan lainnya.

Tenuh-tenun tersebut berasal dari berbagai daerah Indonesia, seperti Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Yogyakarta, Bali, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur.

Di Jawa Barat, tenun tidak begitu populer dibanding daerah lainnya. Padahal jika dilihat dari sejarahnya, banyak tempat tenun di luar Jabar, awalnya berakar dari Jabar.

“Bahkan alat tenunnya disuplai dari penenun Jabar.” Begitu kata Komarudin Kudiya, pemilik Rumah Batik Komar kepada Kompas.com seusai konferensi pers Karya Kreatif Jawa Barat di Bandung, Jumat (7/8/2020).

Perwakilan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Jabar ini menambahkan, ada dua tempat yang dijadikan tempat produksi tenun di Jabar.

Ada di Majalaya yang berada di Kabupaten Bandung, serta di Kabupaten Garut. Tenun yang dibuat beragam. Ada tenun ikat, tenun sulam, dan tenun bulu.

Ciri khasnya, warga Majalaya sering membuat tenun poleng. Sementara, Garut adalah penyuplai pakaian KNIL pada zaman Belanda.

Bahkan pada awal tahun 90-an, kegiatan tenun sutra tumbuh di Jabar. Petani ramai-ramai menanam murbai sekaligus ulat untuk kebutuhan tenun sutra ini.

“Pabrik besarnya ada Padalarang,” imbuh dia.

Namun seiring berjalannya waktu, terjadi alih fungsi lahan. Kebun murbai menyempit, pabrik pun tutup.

Akibatnya, benang sutra tak ada lagi di Jabar dan mulai impor dari China sejak tahun 1998 sampai sekarang.

Meredupnya usaha tenun, sambung Komar, kemungkinan karena kurangnya kepedulian pemerintah di masa lalu. Selain itu, tenun tidak dikenakan oleh masyarakat Jabar sebagai pakaian sehari-hari.

Hal ini berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia yang menjadikan kain tradisionalnya sebagai pakaian sehari-hari.

“Kondisinya sekarang, Jabar itu bisa supply tapi gak ada demand. Sedangkan daerah pemilik ulos, demand ada, supply-nya kurang,” ucap dia.

Hal inilah yang membuat Majalaya kini malah bertransformasi sebagai sentra produksi ulos. Tentunya ulos yang diproduksi telah disesuaikan, kata Komarudin.

Indikasi geografis

Demi mengangkat kembali tenun-tenun Jabar yang dulu pernah booming, Komarudin mengaku Dekranasda menyiapkan Majalaya dan Garut sebagai indikasi geografis.

Caranya dengan membentuk Masyarakat Pelindung Indikasi Geografis (MPIG). Mereka memunculkan kembali nilai kearifan dan kekuatan lokalnya. Termasuk menyiapkan berbagai macam dokumen berupa foto.

Sayangnya, dokumentasi foto dan produk warga Jabar zaman dulu, tak tersimpan dengan baik.

Semua dokumen tersebut sudah diakui oleh pemda setempat.

Pihak Dekranasda kemudian mendaftarkan indikasi geografis ini kepada Kemenkumham.

Setelah melalui verifikasi administrasi, kata Komarudin, seharusnya kini sudah memasuki verifikasi substansi.

“Tapi tiba-tiba pandemi, sehingga sulit untuk melakukan pengecekan ke lapangan dan lain-lain. Jadi kami harus lebih bersabar lagi,” tutup Komarudin.

Pasang Iklan